Monday, December 14, 2015

Metropop Talk: Love, Girls, and The City

Halo teman-teman, memenuhi janji saya di sini, kali ini saya mau cerita seputar acara Metropop Talk: Love, Girls, and The City yang saya ikuti di Festival Pembaca Indonesia tanggal 6 Desember 2015 yang lalu. Talkshow ini mengundang 3 pembicara yang berhubungan dengan metropop, lini novel Gramedia Pustaka Utama, yaitu: Hetih Rusli (Editor), Ruth Priscilia (editor dan pengarang novel), serta Stephanie Zen (pengarang novel).


Saya tertarik ikutan talkshow ini karena sebenernya sih saya pengin nanya, "kenapa Critical Eleven nggak dapet label Metropop?" hahahaha... Simpel kan? Tapi serius saya penasaran abis. Selain itu, tentu saja buat bertemu Stephanie Zen secara langsung. Dia kan tinggal di Singapura gitu, mumpung ke Jakarta masa dilewatkan begitu aja sih? Mana ada juga penjualan buku Stuck in Love yang baru dijual umum tanggal 16 Desember! *pembaca oportunis* 

Mas Ijul sebagai MC dengan kebetan tablet-nya, Mbak Hetih, Ruth, dan Stephanie.
Apa pun alasan saya ikutan talkshow ini, yang pasti saya sangat menikmati diskusi ketiga pembicara. Mbak Hetih membahas soal asal mula munculnya lini ini, yaitu pada tahun 2004 saat chiclit luar negeri sedang booming. Pada saat itu, naskah-naskah yang masuk ke GPU kok rasanya banyak yang mengikuti gaya chiclit. Akhirnya, diperlukan satu label untuk mengategorikan novel-novel lokal rasa chiclit ini. Awalnya ada label "Lajang Kota" yang digunakan untuk novel-novel Alberthiene Endah macam Jodoh Monica, Cewek Matre, dsb. Baru kemudian digunakan Metropop sebagai singkatan Metropolitan yang nge-Pop. Salah satu Metropop pertama adalah Indiana Chronicle karangan Clara Ng.  

Kriteria naskah Metropop adalah setting perkotaan, usia tokoh utama 20-30 tahun, sudah bekerja, dan konflik seputar pekerjaan dan hidup di kota. Naaah.. di sini juga dibahas nih perbedaan Metropop sama Amore itu apa. Kan kita suka bingung ya, kenapa satu novel bisa masuk lini Amore, padahal tentang hidup di kota besar dan tokohnya sudah bekerja juga. Ternyata, ada di konfliknya. Metropop nggak melulu berkutat seputar cinta, walau ada juga pasti. Novel nggak ada cinta mah kayak sayur kurang garam kalau kata Inul. Tapi, cinta hadir bersama konflik yang lain. Selain itu, ending-nya lebih bebas: sad atau happy atau ngambang. Kalau Amore, ceritanya lebih ringan, lebih fokus pada cinta yang membuat pembacanya berbunga-bunga dan santai ketika baca, dan happy ending. Kalau siap ngedumel atau merenung setelah baca novel, bisa pilih Metropop. Tapi kalau mau hati ringan, tidur nyenyak, mimpi indah, pilih aja Amore. Begitu sih yang saya simpulkan dengan bahasa saya sendiri.

Nah, mengenai kaitannya dengan tema Love, Girls and the City, para penulis kemudian menjelaskan mengenai tokoh-tokoh yang mereka angkat dalam novel mereka. Ruth Priscilia ternyata menyukai cerita yang dark dan mengeksplor sisi psikologis tokoh-tokohnya. Suka hal-hal berbau kematian. Nah loh! Tapi sekarang lagi suka menulis tentang hubungan anak-orang tua (yang tetap dark). Setting cerita lebih suka di kota besar luar negeri, dan untuk ini, Ruth harus berkutat dengan Google Earth. Sejak awal, Ruth memang sudah menargetkan untuk masuk lini Metropop. Tokoh-tokoh novelnya memang orang yang sudah bekerja semua sih. Novel terbarunya setelah Forever Monday berjudul Black, menggambarkan banget ya, selera penulis yang satu ini! 

Stephanie kebalikannya. Stephanie adalah orang yang memulai karyanya dari cerita-cerita remaja alias Teenlit karena ditulis semasa ia bersekolah. Seiring bertambah umur, ia menulis tentang tokoh berusia kuliah dan sekarang bekerja. Makanya, baru sekarang masuk lini Metropop. Stephanie lebih suka menulis hal-hal yang dekat dengan keseharian pembaca dengan pesan "you are not alone" alias "gue juga ngerasain hal yang sama kayak elo kok" lewat karyanya. Selain itu, Stephanie juga ingin pembacanya berpikir bahwa selalu ada jalan keluar untuk semua persoalan. Stuck in Love, novel terbarunya, juga membawa semangat demikian. 

Foto sama Stephanie. Aduh maaf ya saya butek, maklum pekerja kasar... *lap keringet*
Seru deh obrolannya, tapi intinya ya seperti yang saya tulis di atas. Lalu mengenai pertanyaan saya soal Critical Eleven yang nggak masuk lini Metropop gimana, dapat jawabannya nggak? Oh jelas... Saya sih tipe orang yang nggak malu bertanya supaya nggak sesat di jalan. Kamu penasaran nggak sama jawabannya?

Jadi gini. Menurut Mbak Hetih, sebenarnya bukan novel-novel Ika Natassa saja yang kini sudah tidak menggunakan label Metropop, tapi Ilana Tan juga. Kenapa? Karena novel-novel kedua pengarang itu sudah masuk kategori mega-best seller sehingga tanpa diberi label lini pun sudah ada pasarnya yang cukup besar. Jika masih menggunakan label Metropop, ditakutkan orang akan membandingkan novel karya pengarang mega-best seller itu dengan karya pengarang Metropop yang baru. Tapi secara isi, novel-novel kedua pengarang tetap bisa dikategorikan sebagai Metropop.

Sekian cerita saya dari Metropop Talk: Love, Girls, and The City. Semoga bisa memberikan gambaran buat teman-teman semua, terutama yang nggak datang ke acara ini. Ngomong-ngomong, baca deh Stuck in Love. Bagus ceritanya. Review menyusul ya.

1 comment:

  1. Keren ka, thanks buat sharing'nya. Saya salah satu orang yang pengen datang tapi nggak bisa datang.

    ReplyDelete

What is your thought?